
Kondisi orang Arab sebelum
masuknya ajaran Islam adalah betapa memilukan sekali. Mereka lebih menyedihkan
ketimbang bangsa-bangsa lain yang menganut agama nashrani dan yahudi pada waktu
itu. Orang Arab pra Islam tidak memiliki panduan khusus seperti yang sudah diterapkan
oleh agama nashrani dan yahudi sebagaimana contoh dalam menyembah Tuhan.
Bila meruntut cerita panjang yang
bisa kita baca pada buku-buku sejarah maka akan ditemukan bahwa hakikat dasar
dari ajaran agama Nashrani dan Yahudi adalah ajaran Monoteisme. Berbeda dengan
mereka, orang arab maka tidak mengenal sama sekali hal seperti itu meskipun ada
sebagian ajaran Nashrani dan Yahudi disana namun tak ada yang mempraktekannya
dengan sungguh-sungguh, bisa dibilang hal itu redup.
Orang-orang Arab pra Islam
dikenal pada waktu itu sebagai orang-orang yang suka menyembah berhala-berhala.
Hal ini bertolak belakang dengan awal mula Nabi Ibrahim (Salam Rindu Untuknya)
dan Nabi Ismail (salam Rindu Untuknya) pertama kali datang ke kota itu. Ketika
Ibrahim datang bersama Hajar dan Isma’il ke Makkah, daerah ini masih gersang,
tak ada tumbuhan. Alquran melukiskan daerah ini terpencil, sepi dan sunyi. (99:
Agama dan Budaya)
Pembangunan Ka’bah yang dibuat
oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail pada hakikatnya adalah untuk beribadah kepada
Allah yang maha Esa. Lambat laun seiring dengan proses adaptasi dan kondisi
orang-orang disekitar pada umumnya, esensi tersebut menjadi kabur dan
digantikan oleh kehendak-kehendak manusia yang tak terelakan. Mereka bangunlah
dewa-dewa, dewi-dewi, dan berhala yang dianggap mempunyai peran besar dalam
kehidupan duniawi. Tidak sampai disitu mereka berulah bahkan ka’bah pun dibuat
kuil olehnya.
Lantas timbulah satu pertanyaan
yang perlu diajukan sehubungan dengan kondisi ini. Kenapa ajaran monoteisme
yang dibawa oleh Nabi Ibrahim menjadi lemah dan bertransformasi menjadi
Politeisme? Adalah memerlukan suatu waktu yang panjang untuk menjelaskannya
dengan cermat namun ada beberapa faktor penting yang bisa kita jadikan sebuah
landasan awal mengapa ajaran monotesime bertransformasi menjadi politeisme.
Dalam buku maha karya sarjana
Islam, Ismail Al-Faruqi diterangkan bahwa ajaran yang diemban, dibawa oleh Nabi
Ibrahim (Salam Rindu Untuknya) tidak berangsur membaik karena ada 4 faktor
penting;
- 1. Kerinduan manusia yang ingin selalu berada dekat dengan dewa. Oleh karena mereka ingin selalu menginginkan campur tangan sang dewa – Mereka kira dewa akan lebih membantu kalau hal itu konkret, benar ada) dalam proses kehidupan sehari-hari; berperang atau memohon tragedi cepat untuk berlalu. Sedangkan untuk mereka, Tuhan adalah jauh atau milik wujud lain yang berada dipuncak yang tak tersentuh secara langsung. “Kami menyembah mereka [ Dewa- Dewi ] tak lain karena kekuasaan mereka mendekatkan kami kepada Tuhan.
- 2. Adalah Apoteosis, penghambaan, pendewaan yang akut yang dilakukan oleh orang-orang Arab terhadap orang yang telah meninggal. Mereka – orang yang meninggal – baik itu sebagai leluhur, kepala suku, atau dermawan telah sampai tingkatan itu menjelma menjadi sebuah idealisasi yang menjadikan orang yang mati menjadi keTuhanan. Dengan sifat idealisasi, proses ini menjadi alur penting bagaimana pembuatan berhala dalam diri manusia berlangsung.
- 3. Rasa ketakutan manusia pada alam dan pada kejadian yang tak dapat dijelaskan yang sewaktu-waktu selalu memunculkan kejadian-kejadian yang memilukan dan tragis. Mereka dengan ketidakberdayaannya sewaktu-waktu dapat melemahkan kehendak seseorang dan merusakan jiwa. Kurangnya iman kepada Tuhan yang memadai akan berujung pada pengelakan secara bertahap pada diri manusia. Dalam kasus seperti ini, persepsi yang menimbulkan rasa takjub beralih dari Tuhan, karena yang menyebabkan kejadian atau kekuatan alam tersebut dipandangnya sebagai wahana kekuatan sentral yang harus diagungkan. Ketidaktersentuhan Tuhan dalam hal ini dirasakan jauh dari sikap memohon oleh karena ketakutan mereka. Karena semangat menentang inilah maka keyakinan transendentalis sungguh-sungguh menekankan kedekatan, keterjangkauan, dari adanya Tuhan bagi siapa pun yang menyeru-Nya.
- 4. Yang terakhir adalah hampir tidak adanya keyakinan transendentalis efektif yang dibawa dan dipellihara oleh kaum Hanif – ajaran Nabi Ibrahim -. Adanya suatu percampuran antara ajaran-ajaran Monoteisme ke Monolatri (Memuja Tuhan tapi meyakini adanya banyak Dewa) disinyalir telah masuk pada ajaran Hanif yang dilakukan oleh orang Yahudi. Sementara dalam ajaran Nashrani telah terjadi transformasi dari Monoteisme kepada Politeisme sebab beberapa hal yakni mereka meyakini inkarnasi dan trinitarianisme sakramentalisme dan Teotokos Teologi mereka.
Dari beberapa faktor diatas
inilah maka suatu kondisi orang Arab pra Islam masih sangat rentan terhadap
masuknya pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Dan dari ajaran-ajaran yang
telah berubah diatas maka dirasa hal itu mendapatkan tempat yang cocok untuk
berkembang di Arab. Bahkan orang-orang Arab lebih bersifat berani untuk
mendewakan apapun yang menurut mereka bisa dijadikan representasi. Menyembah
berhala dengan demikian telah menjadi catatan sejarah kelam orang-orang Arab
sebelum lahirnya sinar terang, agama Islam.
Selain kondisi tersebut
orang-orang Arab pra Islam pada waktu itu belum mempunyai sistem geopolitik
seperti apa yang Sukarno kehendaki. Suatu sistem yang menghendaki adanya
kesatuan dan persatuan antara orang-orang Arab. Karena pada waktu itu kondisi
orang-orang Arab belum mencapai suatu keadaan seperti itu, terlebih diantara
orang-orang Arab lebih dominan terhadap kehidupan suku. Kesukuan inilah yang
banyak menimbulkan perang antara orang-orang Arab pra Islam pada waktu itu.
Perang yang terjadi akibat dari
rasa sukuisme inipun menimbulkan suatu permasalahan yang akut. Perang yang
tiada henti adalah akibat dari sikap tidak adanya suatu keinginan untuk
bersatu, tetapi meskipun demikian pada waktu itu orang Arab tidak begitu mudah
untuk dijajah oleh bangsa asing karena luas gurun dan kondisi dari tempat Arab
itu sendiri sangatlah menjadi penghalang bagi mereka.
Yang Harum Dari Arab Pra Islam
Mewangi mungkin akan senantiasa
ada dan hidup berdampingan dengan hal yang berbanding sebaliknya dan bila kita
tahu hal itulah kehidupan. Allah (Sujudku Atasnya) telah melahirkan manusia
berserta sejarahnya bukan hanya pada manusia yang ia kehendaki sahaja. Semisal
contoh peradaban sekarang, bila saya berpikir kenapa peradaban pada zaman
sekarang dikuasai oleh orang-orang yang aku anggap bukan yang terbaik dihadapan
Allah?
Yang baik tidak akan selalu
memenangi pertandingan, akan ada selalu drama kehidupan yang mengherankan kita
bagaimana yang baik itu selalu sahaja berada pada tingkatan kekalahan?
Bagaimanakah sekarang cerita peradaban manusia yang tengah dirajai oleh
orang-orang barat? Bagaimana pula keadaan terakhir dari sejarah gemilang
peradaban muslim pada waktu itu?
Mereka-merekalah yang dikarunai
oleh Allah – Karena semua adalah pemberiannYa - dan kita adalah orang yang
tengah diuji oleh Allah dengan keadaan sekarang ini. Kehidupan adalah bagaimana
manusia itu mampu mengolah dan memanfaatkan akal pikiran mereka untuk tetap
bertahan dalam kehidupan dibumi. Peradaban-peradaban gemilang telah terukir dan
mewarnai roda kehidupan bumi ini dan tidak semuanya datang dari manusia pilihan
Allah. Namun sesuai hukum alam dan hukum peringatan maka peradaban-peradaban
yang gemilang itu luluh dan hancur lebur dengan waktu.
Begitulah pula keadaan di Arab
pada masa sebelum Islam datang. Orang-orang Arab meski dikenal suka berperang,
berfoya-foya dan menyembah berhala akan tetapi mereka dikenal cukup luas karena
keahliannya dalam bidang sastra. Mereka sangat terkenal karena bahasa dan
syairnya.
Bahasa Arab adalah bahasa yang
memiliki sejarah panjang sesuai dengan kekayaan yang didapat sampai saat ini.
Bahasa arab yang sekarang kita tahu adalah kerabat dekat dengan bahasa semitik
semisal; Akkad/Babylonia, Aram, Nabatea, Ibrani, Feonisia dan dialek Kanaan
lainnya. Dari sebagian banyak bahasa semitik pada waktu itu hanya bahasa
Arablah yang masih bertahan sampai sekarang.
Untuk membicarakan sejarah bahasa
arab disini rasanya tidak akan efektif karena pada dasarnya penulis hanya ingin
menggambarkan bagaimana keadaan syair, penyair dan sastra pada waktu itu. Bukan
hanya itu sahaja penulis tahu bahwa untuk menulis sejarah bahasa arab maka
waktu yang dibutuhkan akan sangat panjang. Oleh karena itu mungkin suatu saat
nanti – entah kapan – Insya Allah saya mempunyai keinginan untuk menuliskannya.
Syair, Penyair dan Sastra Arab Pra Islam
Telah sedikit diterangkan diatas
bahwasanya diantara kehidupan orang-orang arab ditengah hedonisme, romantisisme,
kehancuran moral, maka mereka telah dikenal luas oleh karena
kepandaian-kepandaian dalam hal berpuisi dan mensyair.
Syair pada waktu itu adalah
bagian dari kehidupan orang-orang arab pra islam. Apa yang menjadi aktifitas
orang-orang pra islam pada waktu itu menjadi sebuah manifestasi yang begitu
banyak yang diabadikan didalam puisi.
Oleh karenanya tema-tema yang ada
pada waktu itu berkisar hanya pada kegiatan sehari-hari mereka, terutama yang
paling banyak menjadi tema adalah pasti kesukuan. Syair pada waktu itu bisa
menjadi sebuah senjata yang bisa membuat hasrat manusia berdebar dan
menyanjung, memuji setelah itu bisa membuat orang terbuai.
Bahkan fanatisme orang-orang arab
yang masih akut sekali kesukuannya menjadi hal paling penting dalam bentuk
suatu syair pada waktu itu. Semangat kepahlawanan ditunjukan didalam puisi
bukan tak lain untuk menyemangati orang-orang yang akan ikut berperang. Tema dari
syair-syair orang arab pra islam menurut Ismail Al-Faruqi terjadi karena pada
waktu itu keadaan orang Arab pra islam dengan keadaan yang sedemikian rupa
telah menyebabkan adanya dua keadaan yang sangat beragam. Yakni Hedonisme dan
Romantisisme.
Hedonisme dipandangnya karena
mereka hanya mengejar kehidupan yang bersifat nisbi, mereka tidak terlalu
percaya akan adanya hari pembalasan. Dan menikmati kehidupan, mengejar
kebahagiaan toh adalah tujuan mereka. Sementara romantisisme mungkin lebih pada
bagaimana mereka mengagungkan seseorang prihal keadaan perang yang terus menerus
atau kepahlawanan – coba baca Ayyam Al-Arab - dalam suku mereka. Inilah mungkin
yang menjadi asbabun nujul dari salah satu ayat dalam Al-quran tentang penyair
dan ihwalnya.
Dibalik kehampaan merekalah
sebenarnya yang merupakan kesia-siaan yang mungkin ingin hendak ditegur oleh
Islam. Bukanlah syair atau kepenyairannya yang hendak dihapus oleh Islam ketika
datangnya akan tetapi ia malah mencerahkan apabila hal tersebut digunakan
dengan sebaik-baiknya perbuatan. Baginda Muhammad SAW – Salam Rindu Atasnya –
pun pernah terkagum-kagum dengan sebuah syair. Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Dari Nabi saw. bahwa beliau
bersabda: Bait syair (puisi) paling bagus yang pernah diucapkan oleh
orang-orang Arab adalah bait syair Labid: Ketahuilah, segala sesuatu selain
Allah adalah batil. (Shahih Muslim No.4186)
Muallaqat – Puncak Segala Kegiatan
Adalah puncak dari segala rasa
kecintaan orang-orang arab pra islam pada waktu itu terhadap sastra/syair telah
melahirkan suatu acara tahunan yang sangat terkenal, Pekan raya Ukazh. Pada
acara ini berkumpullah para penyair sejagat yang kemahirannya sudah barang
tentu tidak perlu untuk dipertanyakan kembali.
Pembacaan-pembacaan syair menjadi
kesempatan emas bagi mereka untuk mendapatkan gelar sebagai penyair yang
diperhitungkan. Selain dari itu gengsi yang paling tinggi dari acara pekan raya
tersebut terbesit dalam satu kata yakni Mu’allaqat (Yang Digantungkan Didinding
Ka’bah)
Sumber Rujukan
Ismail dan Lamya Al-Faruqi, 1986.
Atlas Budaya Islam, Menjelajah Khazanah
Peradaban Gemilang. Mizan Publishing.
Khaldun, Ibnu, 2011. Muqadimmah
(Terjemahan). Pustaka Firdaus
Ali, MA dan Adang Affandi, 1995. Studi Sejarah Islam. Binacipta.
….